Tawakkal sering disalahpahami oleh sebagian di antara kita, seolah-olah orang yang tawakkal itu pasrah dan diam. Benarkah yang dimaksud dengan tawakkal adalah pasrah dan diam? Tidak. Diam dan pasrah bukan berarti tawakkal. Orang yang berdiam diri dan pasrah oleh Imam Al-Ghazali diibaratkan sebagai daging yang tak bernyawa. Orang yang mengira tawakkal berarti diam dan pasrah hanyalah orang-orang bodoh. Lalu bagaimana agar orang bisa mencapai maqam tawakkal?
Tawakkal itu bertingkat-tingkat, yaitu: Pertama, tawakkalnya orang awam seperti manusia kebanyakan. Kedua, tawakkalnya orang khawas yang sudah jauh anak tangganya ke atas. Dan yang ketiga, tawakkalnya khawasul khawas, yaitu orang yang sudah mencapai pada tingkat puncak.
Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin memberikan klarifikasi terhadap kita, bahwa yang dimaksud dengan tawakkal bukanlah seperti itu, bukanlah hanya dengan berdoa saja, yang pokoknya semua langkahnya bahkan detak jantungnya diserahkan kepada Allah. Ini bukanlah tawakkal. Malah dikatakan, bahwa hal seperti ini tak lain merupakan sangkaan orang-orang yang bodoh, karena yang demikian itu diharamkan oleh syari’ah kita. Sebaliknya, kita wajib untuk bergerak. Apalagi bagi yang memiliki keluarga yang membutuhkan nafkah. Tidak boleh ditelantarkan atas nama tawakkal.
Maka tawakkal adalah usaha. Ada kalanya usaha manusia dilakukan dengan tujuan untuk menarik manfaat. Misalnya seseorang ingin menjadi orang alim. Maka orang itu harus berusaha dengan senang hati tanpa paksaan sehingga dia mendapatkan kemanfaatan dari usahanya tersebut. Kemudian orang itu berdoa berharap agar apa yang diharapkannya terwujud. Inilah yang disebut dengan tawakkal. Akhirnya orang yang berharap menjadi alim tersebut betul-betul menjadi alim.
Setelah mendapatkan manfaat, manusia harus menyimpan kemanfaatan tersebut. Misalnya memelihara manfaat dari harta yang diperoleh. Sebagian disimpan untuk keperluan darurat. Ini juga termasuk bentuk usaha manusia. Jangan sampai kita hari ini mendapatkan rezeki tidak disimpan sehingga langsung habis. Bila ada kelebihan maka perlu disimpan.
Ikhtiar juga bisa dilakukan untuk menghindar dari kemadharatan, seperti melindungi diri dari orang jahat, menjaga rumah dari pencuri, ataupun menjauh dari binatang buas. Dalam hal ini, kita tidak boleh berpasrah saja jika menghadapi hal-hal tersebut. Harus menghindari dan menjaga diri agar tidak ada kemadharatan mendatangi kita. Ini juga termasuk bagian dari tawakkal.
Selain itu, ikhtiar juga dilakukan untuk menghindari dari penyakit, yaitu seperti meminum obat atau datang ke dokter. Jika ada orang sakit, lalu dia kemudian tak mengobatinya, maka hal ini bukanlah tawakkal, sebaliknya orang tersebut menurut Imam Ghozali justru malah telah melakukan dosa.
Maka, gerak-gerik manusia menurut Imam Ghozali tidak terlepas dari perkara-perkara berikut ini. Pertama, manusia melakukan perbuatan yang dimaksudkan untuk mendatangkan kemanfaatan, seperti bekerja. Kita bertawakkal, tapi kita juga bekerja. Mendatangkan manfaat maksudnya adalah kita berusaha, dimana dari usaha tersebut seseorang mendapatkan sesuatu yang bisa dinikmati. Hasilnya kita gunakan untuk kebutuhan sehari hari baik untuk diri sendiri maupun keluarga. Pada poin ini manusia tidak bisa terlepas dari pekerjaan. Tidak disebut tawakkal bila tidak melakukan perbuatan yang mendatangkan kemanfaatan.
Kedua, memaanfaatkan yang sudah didapatkan. Seperti menyimpan harta. Jika pada yang pertama tugas kita adalah mencari manfaat, maka yang kedua tugas kita adalah memanfaatkannya. Misalnya makanan sudah ada di depan meja. Sudah siap untuk dimakan. Agar bisa dimakan, orang harus mengambilnya dengan tangan. Bukan dengan diam. Bila orang itu diam atas nama tawakkal, sambil berharap makanan itu masuk sendiri ke dalam mulutnya maka, itu bukan tawakkal. Ini hanyalah sangkaan orang bodoh dalam mengartikan tawakkal. Orang yang diam tanpa usaha untuk makan makanan yang sudah di hadapannya oleh Imam Ghazali disebut sebagai orang gila. Bukan orang yang tawakkal. Sebab mana mungkin makanan bisa masuk dan mengunyah sendiri sampai masuk ke dalam perut tanpa adanya campur tangan manusia.
Contoh tentang kesalahan dalam mengartikan tawakkal juga berlaku bagi orang yang tak mau menggarap sawah tapi ingin mendapatkan hasil panen yang bagus. Agar bisa mendapatkan panen yang bagus, sawah harus dikelola dengan baik. Dengan menggunakan ilmu. Bukan diam saja tanpa berbuat apapun. Namun kita tetap yakin bahwa rezeki berupa makanan, minuman dan harta benda yang bisa kita nikmati adalah pemberian Allah Swt. Sebab tidak menutup kemungkinan sebalum kenikmatan yang sudah siap dinikmati tersebut ternyata tak dapat kita nikmati karena ada sesuatu lain yang mengambilnya. Misalnya tiba-tiba ada kucing yang memakannya atau tiba-tiba ada ular yang datang sehingga membuat kita lari dari makanan tersebut. Untuk itu, tetap hati kita bergantung pada kuasa Allah.
Ketiga, menolak kemadharatan. Manusia memiliki insting untuk menjaga diri dari ancaman luar. Keempat, memotong kemadharatan. Misalkan, jika kita sedang sakit, maka kita harus memotong jangan sampai sakit tersebut terlalu lama. Jika flu tanpa diobati, biasanya flu tersebut baru sembuh setelah lima hari ataupun sepuluh hari. Tetapi dalam hal ini kita tahu kondisi diri kita. Biasanya jika kita meminum obat, maka flu tersebut akan begitu cepat sembuh, yaitu paling-paling hanya tiga hari. Jadi, madharat tersebut harus dipotong. Jangan membiarkan diri kita begitu saja tanpa ada usaha mengobati.
Tawakkal yang benar adalah tawakkal seperti yang disabdakan oleh Rasulullah itu. Siapa yang bekerja ataupun berikhtiar kemudian berdoa, maka inilah tawakkal yang benar. Kalau hal ini konsisten dilakukan, betul-betul fokus kepada Allah dalam menyerahlan dirinya, maka Allah akan menjamin rezeki orang tersebut. Hal ini merupakan suatu mu’jizat, ada misteri di situ, yaitu misteri keikhlasan dan misteri tawakkal.
Disarikan dari Pengajian Ihya Ulumiddin yang disampaikan oleh KH. Masbuhin Faqih